Penambahan minat

Lukisan Usang



Tunduk dalam gemetar tubuh kering kerempeng dengan tertatih menggerakkan kerentaannya menuang pewarna-pewarna diperam sekurun ukuran takar cahaya langit hingga genap diangkat guna, usai tiga purnama penantian yang tanpa dirasakannya telah tercebur utuhnya jiwa raga dalam dera kehampaan gulita mengelilinginya.....

Jauh sebelumnya pemandangan itu berada, telah dieja seraut wajah menjauhkan diri yang belajar mengerti akan saudara kecilnya yang paling dicinta terpelanting bersimbah pekatnya rintihan tanpa disuarakan sedikitpun sebagai rasa sakit oleh dirinya... ia pun telah memapah menjauhkannya dari kutub keriuhan yang bersuara bagai penguasa tunggal tanpa mengerti tangisan-tangisan kecil di setiap sudut pulau-pulau sepi menanti dengan setia kepulihan yang dicinta dan digadangnya akan memiliki manisnya gerak tenaganya untuk menjamah seluruh tubuhnya mewangikan yang diyakini saudara dan tetua sebagai perantara bagian keutuhan penjaga luas dan suburnya hamparan tanah yang dikelilingi luas samudra itu. Terselip titah kuasa leluhur yang rindu dimengerti oleh para pewaris yang telah lama dibutakan oleh lamanya keculasan angkara angkara yang datang berkamuflase memaniskan keserakahan dengan halusnya bujuk merayu silih generasi.

Tanpa ada ketupat terbelah pelengkapnya sesaji tertabur tujuh warna harumnya bunga-bunga yang tumbuh dI atas membujurnya tubuh kelelahan  selaksa sedimen kusam di tanah juang itu... diawalinya titik-titik warna dari kuas tuanya sebagai silih jika tak utuh menjadi pengganti , sadar akan lakunya yang belum utuh bagi sesembahannya yang tak berwujud. Hingga tanpa duga bagai kilat tanganya membelah warna polos kanvas yang hampir melekat dengan tubuhnya sebelum ia memulai semua goresan ceritanya, yang lama dinanti .....

Hujam guyuran bergelayut dari langit tertali penutup usapan kehalusan bulu bak dahaganya lempung-lempung keras berongga  berangsur membasah hingga melembabkan setiap celah berisi seakan penuh elak menipu diri yang memahatkan singgahsana direkat besarnya wajah berona mata seakan membarakan teriakannya tanpa daya jangkau yang disamarkan lengkung-lengkung pemutus warna menjadi lunturnya kasiat titah hingga melemah diujung nyatanya perkara dan hanya mampu bersandar pada kuasa perupa, yang dengan membayang berjuta wajah-wajah bocah kerontang disulut gerusan sambal membelalakkan mata tak juga lepas dari dekap dalam peluknya menjadi wujud momentum serta bertambah ceceran warna cerita durjana berubah-ubah bentuk menyela pembelaan-pembelaan pelambat pengertian silih berganti ingin menjadi bagian cerita yang tak berkesudahan itu... ia terhenti. oleh apa semua dibuat lebar tangan jiwa dan pengertiannya membiarkan aliran jeda itu dirampas tegukan kendi yang seakan dipenghujung isi menikmatkan rasa hingga menyisa tetes di dadanya yang berkeringat dari bibir tipisnya sambil mengarahkan nafas panjangnya tepat pada lukisan  bayangan kursi singgah sana yang ditengah nuansa cerita namun tidak memusatkan bidik saat setiap mata menuju utuhnya pandangan di tempat lurus. Saat angin barat seperti datang dengan hembusan yang mengencang... ia pun membenah ikatan kain kecil yang melilit pinggangnya sejenak kemudian dimunculkannya warna-warna keemasan yang semakin cerah dan bokor-bokor yang diiring selayak oleh tangan-tangan ksatria yang yang mengiring setia mendekat padanya disusul munculnya ruang-ruang penata dipilih perupa meletak sebagian langkah yang telah mencapai tujuan.... semakin melengkung perjalanan kirab mendekatkan pada wajah-wajah manis nan elok membawa sembah para penari dengan paras ayu mengalas arah hingga mendekat selaksa telapak tanganya membelai setiap pipi bagai ia mendapat wahyu menambang setiap wajah diawang-awan menjadi datang menyatu dalam cerita.....

Usai satu bagian sesaat tanpa menunggu lama, berpindah tanganya telah berpindah pada bagian lain. Ranting kering yang menjulur dipilihnya menjada pengawal bagian belahan kisah lain, tempat seekor unggas kecil bertengger dengan kuasan nyanyian memanggil-manggil teman di kejauhan. Paruhnya menghadap langit agar lantang seakan  warna itu ingin menyuarakan cara dipilihnya... seperti ia tak ingin melewatkan setiap jingkrak-jingkraknya makhluk bersayap itu di atas ranting, juga ingin dengan detailnya komposisi bentuk dibekukan dalam setiap guratan-guratan berpadu campuran warna yang melengkapi mata pengeja remahan kulit-kulit pohon tua itu terusik oleh nyanyian berisik kicau sikecil yang nungging dan mendongak berkali-kali di dahan saat mencari penghuni lain.....

Baginya setiap tetes air langit telah semakin melengkap  tetabuhan sebagai nada terindah yang menjadikannya teman setia menapaki setiap jejak dan titian langkah kecil saat itu, menuang segala rasa dalam setiap ruang kanvas yang kini nyaris usai dan pandanginya saat hari menjelang gelap... tanda dirasakannya sengat sapa mentari hari itu hingga bisik lunglainya otot mendenyutkan tanda seakan dirinya tak bertulang detengah sepinya malam yang makin mencekam ketika burung-burung malam telah mendapat waktu bertengger menyanyikan lagunya......